Asal Tokoh Ra Kartini
Masa Remaja RA Kartini
Beruntungnya Kartini memiliki Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara yang merupakan kakeknya. Kakeknya ini ternyata sudah terbiasa memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya, sehingga cara pengajaran jauh dari kesan konservatif.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara (saudara kandung dan saudara tiri) ,namun Kartini merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya.Karena pemikiran kakeknya yang sudah terbuka itu, maka Kartini memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah di ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun.
Menimba ilmu di sekolah ini membuat beliau belajar Bahasa Belanda. Kecerdasan Kartini semakin terasah di dunia sekolah. Sayangnya keinginannya untuk sekolah tak bisa lama. Di usia 15 tahun Kartini harus menghentikan langkahnya ke sekolah.
RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit seperti wanita lain di masa itu. Kartini pun tak punya pilihan. Hal ini tentu membuatnya gundah gulana. Untunglah dia memiliki sahabat di negeri Belanda bernama Rosa Abendanon yang bisa diajak bertukar pikiran selama dipingit.
Pertukaran pikirannya dilakukan lewat surat menyurat. Kefasihannya dalam berbahasa Belanda memudahkan komunikasi 2 sahabat beda negara ini. Sebagai wanita cerdas, Kartini pun mempelajari juga pola pikir wanita Eropa. Surat kabar ,majalah bahkan buku dilalap habis.
Dari apa yang dibacanya,Kartini tahu bahwa kehidupan wanita Eropa,dengan wanita Indonesia sungguh berbeda di kala itu. Di Indonesia, wanita memiliki status yang rendah. Wanita Indonesia tak pernah mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum.
Kondisi itu membuat miris hati Kartini. Keinginan untuk memajukan nasib wanita pun tumbuh di hatinya. Kartini merasa tergugah dan bertekad untuk merubah nasib kaumnya. Tekadnya semakin lama semakin kuat yang juga diceritakan pada buku Raden Ajeng Kartini yang bisa kamu dapatkan di Gramedia!
C. Pemikiran RA Kartini
Pemikiran milik RA Kartini mampu menarik banyak perhatian masyarakat masa itu, khususnya kaum Belanda. Mereka tertarik pada surat-surat yang ditujukan pada ke orang Eropa yang ternyata buah pemikiran wanita pribumi.
Pemikiran RA Kartini mampu menggantikan pandangan masyarakat Belanda pada wanita pribumi di masa itu. Merekapun angkat topi atas pemikiran Kartini. Kartini dikagumi tidak hanya di dalam negeri, melainkan hingga ke seluruh penjuru negeri.
Melalui Seri Tempo: Kartini yang ada dibawah ini, sosok Kartini diangkat, dikupas, dan dikisahkan dalam sudut pandang lain mengenai peran besar karyanya di zaman tersebut.
Baca juga : Makna Sumpah Pemuda
Surat-surat yang selama ini sudah terkumpul oleh J.H. Abendanonlah yang kemudian menjadi cikal bakan pencetakan buku dengan tajuk awalnya “Door Duisternis tot Licht”.
Kemudian judulnya diterjemahkan menjadi “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” tahun 1922 oleh penerbit Balai Pustaka, buku ini diterbitkan hingga 5 kali. Yang menarik pada buku ini, pada cetakan kelima terdapat lampiran surat-surat Kartini.
Berikut ini adalah beberapa buku R.A kartini yang dijual di gramedia :
a. Kartini: Kisah Hidup Seorang Perempuan Inspiratif b. Gelap Terang Kartini
c. Raden Ajeng Kartini
Mendirikan Sekolah Kartini
Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.
Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.
Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.
Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa.
KOMPAS.com - Sosok Raden Ajeng Kartini telah mahsyur di masyarakat Indonesia. Kegemarannya mengungkapkan pandangan dan pikirannya melalui tulisan, nama RA Kartini menjadi abadi, dengan ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Hari lahirnya, 21 April, dirayakan sebagai salah satu hari peringatan nasional yaitu Hari Kartini.
Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah ini mernjadi sosok figur emansipatoris, berjuang keras untuk kesetaraan bagi para wanita di Indonesia.
RA Kartini memperjuangkan kesetaraan wanita karena saat itu keberadaan kaum hawa seringkali tidak dihargai, termasuk tak diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kartini sebenarnya hanyalah seorang perempuan Jawa biasa yang lahir di keluarga bangsawan. Gagasan yang dimilikinya telah menjadikan sejarah mengenangnya sebagai sosok luar biasa.
Baca juga: Meneladani Kartini, Para Peneliti Perempuan Berjuang untuk Kemajuan Riset di Indonesia
Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini memang beruntung bisa mengenyam pendidikan walaupun masih dalam keterbatasan. Pendidikan tersebut mampu membuatnya membaca dan menulis, bahkan dalam bahasa Belanda.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, juga dikenal sebagai bangsawan yang terbuka terhadap peradaban barat.
Sikap terbuka ini juga diwariskan ayah Kartini, yang menyebabkan anak perempuannya dapat berinteraksi dengan beberapa orang Belanda.
Salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia-Belanda di Jawa Tengah.
Ovink-Soer menjadi sahabat RA Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi.
Berkat sahabatnya ini pun, Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun, dengan diperkenalkan pada jurnal beraliran feminisme De Hollandshce Lelie.
Di jurnal inilah perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut menuliskan keinginannya memiliki sahabat pena dari Belanda.
Keinginannya pun bersambut dengan pegawai pos bernama Estella Zeehandelar menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini. Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pemikirannya semakin terbuka.
Baca juga: RA Kartini, Putri Jawa Pejuang Emansipasi dan Sejarah Hari Kartini
Tulisan RA Kartini dalam surat-suratnya menjadi rekaman pemikiran dan gagasan yang dianggap luar biasa, dengan bercerita mengenai kondisi perempuan yang merasa terkekang, bahkan tidak bisa memilih masa depannya sendiri.
Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, mengenai bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.
Selain kepada dua orang warga Belanda tersebut, Kartini juga menulis surat kepada Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
JH Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku ini diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan Balai Pustaka, kemudian menjadikan nama Kartini besar dan dicatat sejarah sampai saat ini.
Baca juga: Polemik Usai Terbitnya Buku Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini dianggap menginspirasi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia.
Tuntutan kesetaraan gener dan persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki, termasuk hak mengenyam pendidikan, kini menjadi lebih vokal disuarakan oleh banyak orang, salah satunya berkat pemikiran Kartini.
Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan untuk warga pribumi. Didirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Berkat kegigihan RA Kartini, muncul juga Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini (Sekolah Kartini) di Semarang pada 1912, kemudian disusul berdirinya sekolah-sekolah serupa di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini adalah tokoh emansipasi wanita yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah.
RA Kartini dikenal sebagai sosok pemberani, yang semasa hidupnya terus memperjuangkan harkat dan martabat perempuan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, tidak semua perempuan dapat bersekolah. Hanya perempuan bangsawan saja yang memiliki kesempatan mendapat pendidikan.
Berawal dari situ, RA Kartini terdorong untuk memajukan kaum perempuan pribumi agar tidak dipandang memiliki kedudukan yang rendah.
Lalu, apa saja perjuangan dan jasa RA Kartini untuk bangsa Indonesia?
Baca juga: Asal Usul Patung Kartini Pemberian Jepang
B. Surat-surat Yang dibuat R.A. Kartini
Tak disangka surat-surat Kartini pada sahabat-sahabatnya di Belanda berhasil dikumpulkan oleh Jacques Henrij (J.H) Abendanon . J.H Abendanon merupakan suami salah satu sahabat penanya Kartini, Rosa Abendanon. Merekalah yang biasa dikirim surat oleh Kartini. Pada merekalah Kartini biasa menyampaikan tulisannya.
Melalui korespondensi atau surat-menyurat yang dilakukan Kartini dengan sahabat penanya di Negeri Belanda, ia mengabarkan ihwal ketimpangan dan ketidaksetaraan kondisi pendidikan perempuan di Indonesia dan hal ini dibahas di dalam buku Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara.
Sekitar 115 surat yang terkumpul. Surat- surat itu adalah curahan hati Kartini kepada para sahabatnya, antara lain: 1. Estelle H Zeehandelaar atau Stella (14 surat ) 2. Ny Ovink-Soer (8 surat) 3.Prof dr GK Anton di Jena dan istrinya (3 surat ) 4. Dr N Andriani (4 surat ) 5. Ny HG de Booy-Boissevain (5 surat ) 6. Ir HH van Kol (3 surat ) 7. Ny N van Kol (3 surat ) 8. Ny RM Abendanon-Mandri (49 surat) 9. Mr JH Abendanon (5 surat ) 10.EC Abendanon (6 surat ) 11. Suami-istri Abendanon (gabungan surat) 12. Satu surat belum bisa disimpulkan penerimanya
Masa Dewasa R.A Kartini
Setelah dipingit dari usia 15 tahun , R.A Kartini akhirnya menikah pada usia 24 tahun . Tanggal 12 November 1903, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat memperistrinya. Namun sayangnya Kartini bukanlah sebagai istri pertama, melainkan sebagai istri keempat dari Bupati Rembang tersebut.
Ternyata Suami Kartini bisa mengerti jalan pikiran Kartini . Suaminya pun mendukung keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Keinginan Kartini pun semakin menguat terpatri dalam sanubarinya. Dia tak dapat membendung lagi keinginan membebaskan para wanita.
Sayangnya, takdir berkata lain. Kartini tak bisa berjuang lebih lama dalam mengangkat harkat derajat wanita karena Kartini wafat di usia 25 tahun. 4 hari setelah melahirkan putra semata wayang, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya.
Kematian Kartini cukup mengejutkan karena selama masa hamil dan melahirkan Kartini tampak sehat walafiat. Tak ada yang menyangka jika Kartini akan wafat di usia muda. Banyak mimpinya yang belum sempat tercapai tentunya.
Untunglah 8 tahun kemudian, tepat di tahun 1912, Sekolah Kartini dibangun yang oleh Yayasan Kartini di Semarang. Adalah oleh keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis kala itu yang menggagas Pembangunan sekolah tersebut . Tak lama pembangunan pun tersebar Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lain.
Mendirikan sekolah perempuan
RA Kartini merupakan putri dari Bupati jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang lahir pada 21 April 1879.
Karena latar belakang keluarganya, ia memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan yang layak.
Ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) dan belajar bahasa Belanda hingga usia 12 tahun.
Setelah itu, RA Kartini diharuskan tinggal di rumah atau dipingit. Artinya, ia tidak diperbolehkan keluar rumah dan melakukan aktivitas lain sampai menikah.
Selama menjalani pingitan, RA Kartini tidak berdiam diri. Ia tetap belajar mandiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.
RA Kartini juga menghabiskan waktunya dengan membaca buku, koran, dan majalah-majalah Eropa, yang kemudian mendorongnya untuk memajukan para perempuan pribumi supaya tidak lagi dipandang rendah.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan
Salah satu perjuangan RA Kartini dalam pendidikan adalah mendirikan sekolah perempuan.
Pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Setelah menikah, ia diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah perempuan oleh suaminya.
Sekolah ini berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang (sekarang Gedung Pramuka).
PAHLAWAN pergerakan nasional yang berjuang menyuarakan emansipasi kaum wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini atau yang akrab disapa RA Kartini, menghembuskan napas terakhirnya pada 18 September 1904. Kala itu, ia baru menginjak usia 25 tahun.
Bila melansir dari laman resmi Kemendikbud, perempuan asal Jepara, Jawa Tengah, itu tutup usia akibat penyakit preeklamsia tepat 4 hari setelah melahirkan putra tunggalnya, Raden Mas Soesalit.
Preeklamsia itu terjadi akibat gangguan kehamilan yang ditandai oleh tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urinenya. Dia menghembuskan napas terakhirnya tepat di pangkuan suamin....
Biografi RA Kartini – Siapa yang tak kenal dengan Kartini? Sosok wanita nan ayu yang begitu dipuja oleh kaum wanita Indonesia. Karena beliaulah, wanita di negeri ini bisa merasakan kesamaan derajat dengan pria.
Wanita tidak hanya berputar di sumur, kasur dan dapur. Karena Kartinilah wanita Indonesia layak diperhitungkan. Apa yang beliau lakukan telah membuka lebar pintu emansipasi. Wanita kini memiliki peranan yang tak kalah penting bagi negeri ini.
Untuk mengenal lebih jauh mari kita bahas Biografi singkat R.A Kartini yang sudah dirangkum dari berbagai sumber
Lahirnya R.A Kartini
Biografi singkat R.A Kartini diawali dari sejak kelahirannya. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Beliau masih merupakan keluarga bangsawan Jawa. Itulah sebabnya gelar Raden Adjeng alias R.A disematkan padanya.
Sesuai dengan adat jawa yang masih melekat, gelar bangsawan ini kemudian diganti menjadi Raden Ayu saat beliau menikah. Ayah Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat putra dari Pangeran Ario Tjondro IV. Ibunda Kartini bernama M.A Ngasirah. Beliau sebenarnya istri pertama namun sayang, status itu tak membuatnya bisa menjadi istri utama.
M.A Ngasirah hanyalah gadis sederhana yang terlahir sebagai rakyat jelata . Beliau merupakan putri seorang kyai di Teluk Awur. Raden Adipati Ario Sosroningrat terlanjur jatuh hati padanya. Meskipun berbeda kasta, namun memang cinta tak bisa memilih.
Statusnya yang bukan berasal dari keluarga bangsawan melabrak aturan kolonial Belanda. Aturan yang diterapkan Belanda mengharuskan seorang bupati harus memilih keluarga bangsawan juga sebagai pasangannya saat menikah.
Hal ini tentu menyulitkan Ario untuk mengambil tampuk pimpinan sebagai bupati Jepara dengan istri pertamanya itu. Ario memutar otak agar posisi bupati tetap bisa dijabat tanpa harus melepas istri pertamanya.
Agar tetap bisa memenuhi aturan kolonial itu, Ayah Kartini juga menikahi Raden Adjeng Woerjan yang masih memiliki darah biru kerajaan Madura. Akhirnya Ayah Kartini bisa mengambil jatahnya untuk menjadi bupati setelah mematuhi aturan Belanda.
Tak lama dari pernikahan keduanya, Ario diangkat jadi Bupati jepara bersamaan dengan lahir putri kecilnya , Kartini. Ario mendapat 2 kebahagiaan sekaligus, yaitu jabatan dan keturunan. Cerita lengkap kehidupan dari RA Kartini juga bisa ditemukan pada buku Seri Pahlawan Nasional: R.A. Kartini.
Rekomendasi Buku & Artikel
Sejarah Singkat RA Kartini
Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.
Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh Irma Nailul Muna.
Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.
Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.
"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."
Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.
Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.
Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.
Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.
Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.
Selanjutnya perjuangan R.A. Kartini untuk pendidikan>>>
F. Peringatan Hari kartini
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Bukan hanya itu, Presiden Soekarno menetapkan hari lahir RA Kartini pada tanggal 21 April untuk diperingati sebagai Hari Kartini hingga sekarang.